Parah, atlit PON asal Sulteng tak bisa pulang karena gak ada ongkos
Apa jadinya kalau sudah berprestasi bagi daerah dalam suatu
pertandingan di daerah lain, tapi tak bisa pulang kampung karena gak ada
ongkos? Tentu menyedihkan, bukan?
Itulah yang
terjadi pada sembilan atlit PON asal Sulawesi Tengah (Sulteng) bersama tiga
pelatihnya terlantar di Stasiun Manggarai sejak Kamis (22/9/2016) siang hingga
malam ini.
TRIBUNNEWS/FAHDI FAHLEVI |
Sungguh miris
mendengar atlit-atlit berprestasi itu terlantar. Mereka tak punya ongkos untuk
kembali ke kampung halaman.
Padahal, dari
sembilan atlit yang sebagian besar anak-anak ini berhasil meraih medali pada
ajang PON XIX /2016 di Jawa Barat.
Mereka meraih satu
medali emas, tiga perak, dan tiga perunggu.
Hingga berita ini
diturunkan, pukul 21.10 WIB, para atlit Sulteng ini masih duduk-duduk di di
pintu keluar Stasiun Manggarai.
Hingga malam ini,
para atlit masih belum mendapat bantuan dana dari pihak manapun.
Mereka hanya duduk
di pintu keluar Stasiun Manggarai sejak Kamis (22/9/2016) pukul 13.00 WIB.
Salah seorang
atlit, Hardiansyah tampak memutar-mutar medali emas PON XIX 2016 yang melingkar
di lehernya.
Tidak tampak raut
muka sedih dari dirinya, bersama tiga teman sebayanya. Hardiansyah malah asik
bercengkerama.
Namun ketika
diwawancarai Tribunnews.com, Hardiansyah yang meraih medali emas cabang muay
thai kelas 33 kg yunior mengaku sedih.
Ia mengaku rindu
dengan ibunda di Morowali, Sulawesi Tengah.
"Senang bisa dapat (medali) emas, tapi sedih tidak bisa pulang," ujar Hardiansyah kepada Tribunnews.com di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan, Kamis (22/9/2016).
Bersama tiga orang
pelatih, mereka tidak bisa pulang ke Sulawesi tengah karena tidak mendapat
bantuan uang dari pemerintah daerah.
"Sudah
telepon mama,minta didoakan biar lancar pulang ke rumah."
Kisah haru
mantan atlit berprestasi Indonesia
Marina Segedi.
Mantan atlit pencak silat ini pernah menjadi pahlawan bagi bangsanya. Ia telah
mempersembahkan medali emas saat SEA Games di Filipina, 1981, untuk Indonesia.
Kini Marina tidak
lagi jaya. Ia bukan atlit lagi, dan tentu saja, usianya sudah paruh baya, 47
tahun. Sang juara itu pun harus berjuang keras membanting tulang untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Saat ini ia beralih menjadi sopir taksi.
Setiap hari
pagi-pagi buta, Marina harus membelah jalanan. Saat kebanyakan orang masih
pulas dalam tidurnya, ia sudah harus berangkat ke pool taksi Blue Bird yang
terletak di Buaran, Jakarta Timur. Kemudian mencari penumpang menjelajah
seantero Jakarta.
Maklum hidup
Marina sekarang bisa dibilang pas-pasan. Rumah belum dimilikinya.Apalagi
setelah ia berpisah dengan suaminya, Rainer Nurdin, pada 1990. Perempuan yang
juga menjadi juara tingkat Asia di Singapura itu, terpaksa harus menghidupi
sendiri kedua anak perempuannya yang masih kecil, yaitu Ayu Yulinasari dan Rima
Afriani Caroline.
Sejak saat itu ia
pun mulai kerja apa saja untuk mencari nafkah. Awalnya Marina bekerja sebagai
sopir taksi, pada 1991. Namun 3 tahun kemudia ia berhenti. "Setelah
berhenti, saya bekerja apa saja. Pernah dagang kue, nasi, sampai jadi peran
pembantu di film. Dan Januari 2011 saya masuk lagi ke Blue Bird," ujar
Marina kepada detik+.
Sekalipun pernah
mengharumkan nama bangsa di tingkat Asia, tidak banyak yang diterima Marina
dari pemerintah. Ia mengaku hanya sempat mendapat beasiswa Supersemar selama 1
tahun dari Presiden Soeharto saat itu. Beasiswa yang diterimanya per bulan Rp
100 ribu. Setelah itu tidak ada perhatian apa-apa lagi.
Perhatian
pemerintah mampir pada Marina ketika tidak sengaja ia bertemu dengan pegawai
Kemenpora bernama Karsono, Juni 2011. Pagi itu Karsono yang tinggal di Kompleks
Inkopol, Kranji, Bekasi, naik taksi yang dikemudikan Marina.
Sepanjang
perjalanan menuju tempat kerja, Karsono mengetahui sopir taksi yang
ditumpanginya ternyata mantan atlit pencak silat yang berprestasi. Marina
merupakan peraih medali emas di SEA Games dan kejuaraan Pencak Silat tingkat
Asia di Singapura.
"Pak Karsono
kemudian bertanya apakah medali-medali itu masih ada. Saya jawab semuanya masih
ada. Begitu juga dengan dokumentasi saat saya meraih penghargaan itu,"
kenang Marina.
Setibanya di
Kemenpora, Karsono minta Marina ikut masuk. Marina diajak ke lantai 7 untuk
bertemu dengan Yuni Purwanti, yang bertugas mengurusi para mantan atlit.
Kemenpora memang
memiliki program tunjangan rumah untuk mantan atlit yang berprestasi. Sayang
tidak banyak atlit yang tahu soal program itu. Marina beruntung karena
kebetulan bertemu Karsono yang memberitahu dan membantunya untuk mendapatkan
tunjangan tersebut.
Marina kemudian
diminta membawa medali berikut piagam penghargaan yang pernah ia dapatkan untuk
mengurus tunjangan rumah. Wanita blasteran Jerman-Jawa itu selama ini memang
masih menumpang di rumah orang tuanya di daerah Bintara, Bekasi Barat.
Namun proses untuk
mendapatkan tunjangan rumah sebesar Rp 125 juta memang tidak mudah. Paling
tidak ia harus menunggu 3 bulan untuk ditetapkan sebagai mantan atlit yang
berhak mendapat tunjangan itu. "Kata Bu Yuni tunjangan itu harus melalui
persetujuan beberapa pihak. Jadi saya disuruh berdoa saja," cerita Marina
kepada detik+.
Akhirnya pada 9
September 2011, tunjangan rumah dari Kemenpora diterima Marina. Tentu saja
tunjangan itu membuatnya senang. Paling tidak tunjangan itu bisa dimanfaatkan
Marina sebagai bekal jika sudah tidak lagi menjadi sopir taksi.
Hidup pas-pasan
juga dialami Hapsani, peraih medali perak dan perunggu di SEA Games 1981 dan
1983. Bahkan mantan atlit lari estafet 4 x 100 meter ini terpaksa menjual
medali yang diperolehnya ke pasar loak di Jatinegara Jakarta Timur, pada 1999.
"Suami saya
terpaksa menjual medali-medali itu untuk beli makanan. Sebab saat itu suami
saya menganggur," jelas Hapsani yang kini telah berusia 50 tahun.
Kondisi
perekonomian Hapsani dan suaminya, Muhammad Hatta, memang sangat
memprihatinkan. Meski usia keduanya sudah senja, namun hingga saat ini mereka
belum juga memiliki rumah.
Pasangan ini masih
menumpang di rumah orang tua Hapsani di daerah Salemba, Jakarta Pusat.
Untuk menutup
kebutuhan sehari-hari, Hapsani bergantung dari penghasilan suami yang bekerja
serabutan. Selain itu ia juga berupaya mencari tambahan dengan menjadi pelatih atlitik
untuk anak-anak di sekitar rumahnya. Penghasilan yang didapat itu tentu saja
tidak seberapa.
Kisah Marina dan
Hapsani merupakan gambaran nyata betapa tragisnya nasib sejumlah mantan atlit
yang dulu pernah berjasa mengharumkan nama bangsa. Mereka terpaksa hidup
pas-pasan, membanting tulang untuk menyambung hidup usai pensiun sebagai atlit
nasional.
Selain Marina dan Hapsani,
sebenarnya masih banyak mantan atlit berprestasi yang nasibnya sengsara. Hanya
saja pemerintah mengaku kesulitan untuk mencari informasi keberadaan mereka.
"Kami sulit
mencari tahu keberadaan mereka sebab alamatnya sudah berubah. Kami berharap masyarakat
yang mengetahui ada mantan atlit berprestasi yang hidupnya susah segera
laporkan ke Kemenpora," kata Menpora Andi Mallarangeng.
Ketua Ikatan Atlit
Nasional Indonesia (IANI) Icuk Sugiarto menilai pemerintah kurang serius
memperhatikan nasib para atlit. Bila pemerintah serius, sebenarnya mudah saja
menemukan atau mencari tahu nasib para mantan atlit yang dulu pernah meraih
prestasi.
"IANI saja
yang berdiri sejak 2005 memiliki database nama-nama atlit dari tahun 1951
sampai sekarang. Kan aneh kalau pemerintah yang punya infrastruktur justru
tidah tahu data para atlitnya. Apalagi atlit-atlit yang dulu berprestasi,"
ujar Icuk, yang juga mantan atlit bulutangis.
Menurut catatan
IANI, pada 2007 terdata setidaknya atlit yang pernah meraih medali emas di
tingkat SEA Games jumlahnya 1.500 orang. Untuk tingkat Asean Games jumlahnya
sekitar 90 orang, dan tingkat dunia jumlahnya kurang dari 75 orang. Belum lagi
peraih medali perak dan perunggu.
Tulisan detik+
berikutnya: Laporan Utama 'Surat Rahasia Sri Mulyani' dan Laporan Khusus 'Nasib
Tragis Pahlawan Olahraga' antara lain 'Susahnya Cap Tiga Jari Suswanti',
'Jangan Terlantar Setelah Pensiun' dan 'Hujan Medali Berhenti, Sukses Tetap
Milik Susi' bisa Anda dapatkan di detiKios for Ipad yang tersedia di apple
store.
Sumber: Tribunnews,
Kompas
0 Response to "Parah, atlit PON asal Sulteng tak bisa pulang karena gak ada ongkos"
Post a Comment